Abstract
Pesantren Raudhotul Mukhlasin Wassholihin (RMW) di Desa Terak Bangka Tengah merupakan salah satu dari sekian ribu lembaga pendidikan tradisional dan sedikit yang mengkhususkan diri mengasuh dan mendidik anak-anak yatim dan/atau duafa secara gratis. Sebagai sebuah Lembaga Pendidikan yang tidak memungut iuran dari santri, sudah tentu mengalami banyak tantangan dan hambatan dalam memenuhi kebutuhan operasional pesantrennya. Status yatim “piatu” dan/atau duafa yang sudah berlangsung lama (minimal 2 tahun) tidak dapat dipungkiri bahwa cukup banyak masa-masa berharga yang hilang dari mereka antara lain hilang kasih sayang orang tua kandung, rasa dihargai, diperlakukan dengan baik bahkan hilang Pendidikan formal dan informal. Kondisi anak yang kurang mampu mengekspresikan emosi, tidak punya rasa empati, atau tidak punya belas kasihan bisa jadi karena kurangnya kasih sayang. Hilangnya motivasi, kurangnya kepercayaan diri, munculnya sikap atau fikiran negatif, tidak minat berkolaborasi dan kerja tim, bisa jadi karena sering mengalami tidak dihargai dan diberlakukan dengan tidak baik. Kurang inisiatif, tidak mandiri, pemalas, tidak mudah menerima masukan/saran dari pihak lain, tidak mudah mengembangkan potensi yang dalam diri, tidak disiplin dan cenderung mengambil jalan pintas, bisa jadi karena tidak punya Pendidikan dan atau keterampilan.
Santri dengan ilmu agamanya dapat membantu orang lain menjadi lebih baik, bermoral, berakhlak mulia, berintegritas tinggi dan memiliki karakter yang kuat. Tidak sedikit santri bercita-cita menjadi pendakwah yang tanpa sadar mengharapkan uluran tangan dan kedermawanan jamaah, tetapi sikap seperti itu justru bertentangan dengan hakikat beragama itu sendiri. Oleh karena itu pemberdayaan santri sebagai pembelajaran dan Latihan keterampilan hidup sangatlah penting, karena dengan memiliki keterampilan hidup akan menjadikan santri berperan yang sangat penting bagi lingkungannya bukan hanya berdakwah, tangan di bawah melainkan tangan di atas. Bukan hanya menjadi santri mandiri tetapi juga mampu berbagi dan memberi serta secara pragmatis menjadikan pesantren tidak tergantung uluran tangan dermawan.
Agar santri menjadi terampil, disiplin, melupakan masa lalu dan pesantren itu sendiri menjadi mandiri maka Pendidikan agama dipondok pesantren harus diajarkan secara simultan dengan keterampilan hidup antara lain, berkebun, berternak (hewan, unggas, ikan), dan kaligrafi. Pemberdayaan sebagai ajang belajar keterampilan hidup (life skills) adalah proses beradaptasi dan berperilaku positif yang pada akhirnya memampukan individu untuk menghadapi tuntutan dan tantangan kehidupan sehari-hari dengan efektif.
References
J, Nasikun, 1995, Mencari Suatu Strategi Pembangunan Masyarakat Desa
Berparadigma Ganda, dalam Jefta Leibo, Sosiologi Pedesaan,
Yogyakarta : Andi Offset.
Kutut Suwondo, 2005, Civil Society Di Aras Lokal: Perkembangan
Hubungan Antara Rakyat dan Negara di Pedesaan Jawa, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar & Percik.
Sunyoto Usman,2004, Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sutoro Eko, 2012, Pemberdayaan Masyarakat Desa, Materi Diklat
Pemberdayaan Masyarakat Desa, yang diselenggarakan Badan Diklat
Provinsi Kaltim, Samarinda Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007
tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat
Soetandyo Wignyosoebroto Pasang surut otonomi daerah: sketsa perjalanan
tahun, 2005, Institute for Local Development, Open Library,
Yayasan Tifain Indonesia - Cet. 1.
Permendagri RI Nomor 7 Tahhun 2007 tentang Kader Pemberdayaan
Masyarakat, Bandung : Fokus Media